Kota Cilegon, Masih Amankah untuk Ditinggali?

Anggota Klub Diskusi Majelis Qohwah Cilegon, Ahmad Yusdi (Foto:Dok, pribadi)

Penulis : Ahmad Yusdi

Anggota Lembaga Kajian Majelis Qohwah Cilegon

 

Dan di balik nyala api yang menjulang ke langit, ada mata yang menatap dengan cemas: "Apakah kami masih aman di tanah kami sendiri?".

Penggalan paragraf di atas saya kutip dari tulisan Mohammad Nasir Rosyid "Langit Jingga Cilegon, Flaring dan Suara Hati Warga" di sebuah media nasional. 

Muhammad Nasir bukan hanya seorang penulis profesional, rumah tempat tinggalnya juga kebetulan hanya berjarak beberapa meter dari kawasan industri petrokimia Cilegon. Jadi dia merasakan secara langsung apa yang digelisahkan warga saat sebuah industri kimia sedang melakukan aktivitasnya. Apalagi aktivitas itu dirasa mengancam jiwa.

Flaring Petrokimia dan Tingkat Bahaya Pabrik Plastik

Sebelumnya, sejak Rabu (12/5) masyarakat dihebohkan dengan semburat api di langit Cilegon yang membuat langit berwarna jingga kemerahan di malam hari. Api yang masih berkobar hingga tulisan ini dibuat berasal dari cerobong pabrik kimia Lotte Chemical Indonesia (LCI). Pihak LCI sendiri menjelaskan bahwa pabriknys sedang melakukan aktivitas flaring, sebagai sebuah prosedur start-up pabrik. 

Flaring merupakan proses pembakaran sisa gas produksi, dan LCI sendiri memastikan semuanya terkendali dan aman. Sebagai bentuk komitmen terhadap kepatuhan lingkungan dan keselamatan, LCI juga telah mengirimkan pemberitahuan kepada Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Banten. 

Apakah pejelasan itu menjawab tatapan mata warga yang sedang cemas itu? Apakah kegelisahan seorang Muhammad Nasir akan terhenti hanya dengan sepucuk surat laporan yang dikirim perusahaan kepada kantor DLH? 

Tentu tidak! Ini bukan hanya tentang flaring. Ini tentang sebuah pertanyaan besar, masih amankah sebenarnya hidup di tanah kelahiran sendiri ini?

Flaring, meskipun terkadang diperlukan untuk keamanan sistem industri, tetap memiliki dampak negatif yang signifikan bagi lingkungan dan kesehatan manusia. Aktivitas flaring juga berkontribusi terhadap pemanasan global melalui emisi gas rumah kaca. Gas metana yang dihasilkan dari pembakaran memiliki potensi pemanasan global tinggi. Emisi gas berbahaya seperti CO2, SO2, dan NOx yang mencemari udara berkontribusi terhadap perubahan iklim. 

Siapa yang bisa menjamin bahwa kita tidak terpapar asap flare yang mengandung zat kimia berbahaya itu? Asap yang menyebabkan masalah pernapasan dan masalah kesehatan lainnya, seperti: iritasi saluran pernapasan, asma, bronkitis, dan sebagainya. Bahkan beberapa senyawa berbahaya dari flaring, jika kita terpapar dalam jangka panjang, dapat bersifat karsinogenik (menyebabkan kanker).

Proses pabrik yang memproduksi plastik lekat dengan industri minyak (Nafta), gas, dan batubara, sehingga membuatnya menjadi proses yang tinggi karbon dan tinggi pencemaran lingkungan. Di banyak negara, industri petrokimia produsen olefin seperti CAP dan CAA sudah menghadapi banyak penolakan karena emisinya yang cukup besar. (Data: Center For Environmental Law/ICEL).

Tragedi Chernobyl, Tragedi Bhopal, Akankah Cilegon Bernasib Sama?

Tak hanya warga yang menatap cemas, tak hanya seorang Muhammad Nasir yang resah, Ketua Pengurus Besar (PB) Al Khairiyah, Ali Mujahidin, sebagai representasi tokoh masyarakat Cilegon pun menyerukan agar Aparat Penegak Hukum (APH) dan Pemerintah turun guna melakukan pengawasan ketat terhadap aktivitas LCI ini mengingat akan bahayanya.

Seruan Ali Mujahidin ini tidak sedang mengada-ada atau sebuah sikap berlebihan dari seorang pemuka agama yang mengkhawatirkan keselamatan umatnya. Sejarah dunia pernah mencatat tentang tragedi Chernobyl, Ukraina (dulu Uni Sovyet) dan tragedi Bhopal, India. Bencana terburuk bagi peradaban manusia akibat mengabaikan keselamatan lingkungan dan jiwa manusia, demi apa yang disebut keserakahan industri.

Penutup

Kita tidak menginginkan cerita di masa depan ini terjadi: "...Pada tahun 2100, seorang guru sejarah menjelaskan kepada murid-muridnya, dulu, ada sebuah kota yang maju dan dipenuhi pabrik-pabrik industri raksasa. Akan tetapi, karena mereka buruk dalam memperlakukan alam, kota itu akhirnya menjadi kota mati dan ditinggalkan penghuninya. Racun yang dikeluarkan dari cerobong pabrik selama tahun demi tahun mengancam jiwa siapapun yang menghuninya.

Kota itu bernama: Cilegon.