100 Hari Kepemimpinan Robinsar-Fajar : Hantu itu Bernama Defisit dan Efisiensi

Ahmad Yusdi, lembaga kajian Majelis Qohwah Cilegon. (Foto: Istimewa)

 

Penulis : Ahmad Yusdi (Anggota Lembaga Kajian Majelis Qohwah Cilegon) 

 

Pasca dilantiknya Walikota dan Wakil Walikota Robinsar-Fajar, keduanya menghadapi problema yang cukup serius, yakni terjadinya defisit APBD di tahun 2024. Defisitnya di luar perhitungan para ekonom, karena mencapai hingga 18,52%. 

Bayangkan, dari target sebesar Rp2,4 triliun yang terealisasi hanya Rp1,9 triliun. Jadi sekitar Rp500 miliaran tidak terimplementasikan. Dan tentu saja beban di kepemerintahan masa lalu itu akan menjadi beban dan tanggung-jawab kepemimpinan keduanya di hari ini. Kalau dalam folklore masyarakat Cilegon sendiri apa yang menimpa walikota dan wakilnya ini diistilahkan dengan 'ngerabeni wong meteng'.

Penyumbang defisit terbesar adalah dari sektor tidak terealisasinya Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dari target Rp.1,2 triliun yang diproyeksi hanya Rp752 miliar yang bisa ditarik, atau hanya 61,41% saja. Sisanya Rp472 miliar tidak dapat ditarik.

Sudah jatuh tertimpa tangga. Tidak cukup dibebani defisit yang cukup besar itu, terbitnya Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025, tentang Efisiensi Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025, telah memotong Dana Transfer Daerah sebesar Rp400 miliar, baik melalui Dana Alokasi Umum (DAU) maupun Dana Alokasi Khusus (DAK). 

Masyarakat pun memandang skeptis, apakah Robinsar-Fajar mampu mewujudkan program-program kerjanya? Karena program sebagus apapun kalau tidak ada pembiayaannya hanya akan menjadi mimpi di siang bolong. Dan, kegagalan progran pun menghantui kedua anak muda yang menjadi orang nomor satu dan dua di Kota ini.

Sebagai warga negara yang tidak menginginkan apa yang dikhawatirkan masyarakat itu menjadi kenyataan, saya yang tergabung dalam sebuah lembaga kajian Majelis Qohwah Cilegon (MQC) mencoba mengusulkan beberepa poin solusi sebagai bentuk partisipasi publik. Semoga bisa membantu pemikiran, atau minimal menginspirasi pemerintah dalam menjalankan roda kepemerintahannya.

Penugasan Dinas Satpol PP sebagai Ujung Tombak Penegak Peraturan Daerah, hingga Permintaan Audit PT PCM

Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah penerimaan yang diperoleh pemerintah daerah dari sumber-sumber yang ada di wilayahnya. PAD dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. PAD terdiri dari empat komponen utama, yaitu: pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan pendapatan lain-lain daerah yang sah. 

Pertama, optimalisasikan pajak daerah dengan melakukan pendataan ulang Wajib Pajak (WP). Memastikan semua wajib pajak yang terdaftar membayar sesuai ketentuan. Tentu saja pelaksanaanya harus tegas dengan pemberlakuan 'punishment and reward'. 

Oleh karenanya dibutuhkan keseriusan kerja-kerja OPD terkait (BPKPAD, DPMPTSP, dan OPD terkait lainnya) dikoordinasikan dengan Dinas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) selaku pelaksana penegakan perda. Agar dilakukan penganan sanksi bagi WP yang melanggar ketentuan.

Selama ini, dari hasil survey kami, capaian Dinas Satpol PP hanya berorientasi pada ketertiban masyarakat semata (penertiban pedagang kaki lima, penertiban tempat hiburan malam, dan sebagainya). Kenapa dinas penegakan Undang-undang ini tidak diberdayakan guna ujung tombak menertibkan para wajib pajak nakal yang merugikan daerah?

Mengingat urgensitasnya, walikota harus segera mereposisi dinas ini secara meritrokrasi. Dibutuhkan sosok kepemimpinan pada tingkat eselon dua-nya yang memahami tugas pokok sesuai program kerja yang sudah tertuang dalam RPJMD. Disamping juga memahami persoalan hukum dan perundang-undangan.

Kedua, peningkatan retribusi daerah dengan cara mengevaluasi kembali penyesuaian objek dan tarif retribusi. Pungutan yang dikenakan memang baru meliputi jasa pelayanan yang diberikan, seperti: retribusi pengelolaan pasar, retribusi izin mendirikan bangunan (IMB), dan retribusi pelayanan parkir. 

Untuk retribusi IMB misalnya, wajarkah peningkatan pendapatan di sektor ini dari tahun ke tahunnya tidak meningkat secara signifikan? Bukankah dari tahun ke tahunnya bangunan berubah? Mengapa DPMPTSP dan DPKPAD dalam hal ini terkesan bekerja sendiri sendiri?

Objek retribusi yang belum dikelola dengan baik adalah potensi parkir kendaraan, baik kendaraan besar maupun kecil. Kalau anda menyusuri sekitar Jalan Lingkar Selatan (JLS) atau di akses pelabuhan Merak maupun Ciwandan, disitu berjejer kendaraan-kendaraan besar parkir di pinggir jalan. Seharusnya Dinas Perhubungan (Dishub) bisa menggali potensi ini untuk peningkatan retribusi. Dishub dapat menggandeng pihak ketiga dalam pengelolaannya membuat kantung-kantung parkir menggunakan sistem digital.

Ketiga, pemanfaatan dan pengoptimalan aset daerah seperti Gedung Eks Matahari menggandeng pihak ketiga, ruislag aset lahan bengkok yang tersebar di wilayah Kabupaten Serang, dan pengoptimalan aset milik daerah lainnya.

Keempat, mengoptimalkan laba atau dividen dari hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dengan mengevaluasi dan melakukan audit yang transparan dilandasi good governance terhadap BUMD, Perumda, atau UPTD.

Misalkan, ada baiknya walikota sebagai pemegang saham utama di PT Pelabuhan Cilegon Mandir (PCM) menugaskan inspektorat untuk melakukan audit di BUMD tersebut. Sebab dalam rapat Pansus DPRD terhadap LKPJ Walikota 2024, terkuak disitu adanya dugaan praktik fraud dan moral hazard pada analisa laporan keuangannya. 

Pertumbuhan pendapatan PCM memang tumbuh dengan penilaian bagus, yakni 64,02%: dari Rp138,28 miliar (2023) menjadi Rp226,80 miliar (2024), dan labanya pun meningkat dari Rp15,48 miliar (2023) menjadi Rp26,80 miliar (2024). Akan tetapi pertumbuhan biaya lain-lain juga diduga "dibuat" melonjak drastis hingga mencapai 104%. Dan ini berpengaruh kepada setoran dividen yang seolah-olah memang dipatok walaupun pendapatan naik.***