CILEGON, BabeBanten - Anggota Badan Anggaran (Banggar) DPRD Kota Cilegon, Rahmatulloh, memandang capaian realisasi pendapatan 86 persen dan belanja 82 persen hingga awal Desember 2025 tidak dapat dibaca secara simplistis sebagai indikator aman dan terkendali, melainkan harus dianalisis secara lebih struktural dan substantif dalam kerangka akuntabilitas fiskal daerah.
Menurut dia, realisasi belanja 82 persen pada awal Desember mengindikasikan masih adanya persoalan klasik dalam manajemen penyerapan anggaran, khususnya pada aspek perencanaan teknis, kesiapan pelaksanaan kegiatan, dan disiplin administrasi OPD.
"Dalam perspektif penganggaran berbasis kinerja, rendahnya penyerapan bukan sekadar soal angka, tetapi berpotensi mencerminkan rendahnya output dan outcome pelayanan publik yang seharusnya dirasakan masyarakat sepanjang tahun anggaran, bukan menumpuk di akhir tahun," ungkap Rahmatulloh dalam keterangan tertulisnya, Kamis (18/12/2025).
Kemudian, kata Rahmatulloh, pernyataan bahwa pemerintah daerah menargetkan tetap adanya Silpa perlu dicermati secara kritis. Silpa yang terbentuk bukan karena efisiensi terencana, melainkan akibat keterlambatan atau kegagalan realisasi program, justru menunjukkan inefisiensi fiskal. Dalam konteks kebutuhan pembangunan Kota Cilegon yang masih signifikan, baik infrastruktur dasar, pelayanan publik, maupun penguatan ekonomi lokal. Silpa yang besar harus dipertanyakan relevansinya terhadap efektivitas belanja daerah.
"Saya menilai langkah Pemkot Cilegon yang akan melakukan pengawasan intensif terhadap OPD menjelang akhir tahun patut diapresiasi, namun sekaligus menunjukkan bahwa pengendalian anggaran masih bersifat reaktif, bukan preventif dan sistemik. Idealnya, pengawasan realisasi belanja dilakukan secara triwulanan dengan indikator kinerja yang terukur, bukan hanya melalui pemanggilan OPD ketika risiko gagal bayar sudah di depan mata. Praktik “menyelipkan” pengajuan pembayaran sebelum jatuh tempo juga menandakan lemahnya kepatuhan terhadap tata kelola keuangan daerah dan berpotensi menimbulkan masalah hukum maupun audit di kemudian hari," ujarnya.
Terkait Pendapatan Asli Daerah (PAD), lanjut Rahmatulloh, temuan mengenai rendahnya realisasi sektor parkir tepi jalan umum harus menjadi alarm serius. Kesenjangan atau perbedaan antara realisasi Rp100 juta dengan potensi Rp500–700 juta bukan sekadar persoalan target yang tidak maksimal, melainkan indikasi adanya masalah struktural dalam pemetaan potensi, sistem pemungutan, dan pengawasan PAD. Dalam posisi APBD yang semakin dibebani belanja wajib dan belanja pegawai, ketergantungan pada transfer pusat tanpa optimalisasi PAD merupakan risiko fiskal jangka menengah yang tidak boleh diabaikan.
"Sebagai Badan Anggaran DPRD Kota Cilegon, kami menekankan bahwa evaluasi terhadap OPD penghasil PAD dan OPD dengan serapan belanja rendah tidak boleh berhenti pada tataran administratif, tetapi harus berujung pada perbaikan kebijakan, penyesuaian target yang berbasis data riil, serta, bila perlu, restrukturisasi pengelolaan sektor-sektor strategis. Penetapan target APBD 2026 harus benar-benar mencerminkan potensi objektif daerah, bukan sekadar angka kompromi yang aman di atas kertas namun lemah dalam realisasi," jelasnya Politisi PAN ini.
"Dengan demikian, saya menegaskan bahwa capaian 82 persen belanja dan 86 persen pendapatan belum dapat disebut sebagai kinerja optimal, melainkan harus dijadikan momentum koreksi menyeluruh terhadap tata kelola perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan APBD Kota Cilegon. DPRD, khususnya Badan Anggaran, akan memastikan agar pembahasan pertanggungjawaban APBD 2025 tidak berhenti pada narasi keberhasilan formal, tetapi benar-benar menguji sejauh mana anggaran daerah telah bekerja secara efektif, efisien, dan berkeadilan bagi masyarakat Kota Cilegon," pungkasnya. (Arie/red)